”Sjafruddin menjadi presiden ketika Soekarno-Hatta ditangkap Belanda lalu diasingkan ke Bangka. Sjafruddin juga menjadi simbol perlawanan daerah atas kesewenang-wenangan pemerintah pusat,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, perlawanan yang diwujudkan dalam PRRI-Permesta itu membuat stigma pada Sjafruddin, yang pada 1950-an berjasa membuat kebijakan ekonomi untuk menjaga agar negara tidak bangkrut.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah, AM Fatwa, menegaskan, keberadaan PDRI dengan Bukit Tinggi sebagai ibu kota terlupakan dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia. ”Kita harus berdamai dengan sejarah. Sjafruddin Prawiranegara muncul di saat Indonesia dalam keadaan kritis dan berani mengambil risiko,” kata Fatwa.
Pada hari yang sama di Universitas Padjadjaran, Bandung, juga diluncurkan buku 70 Tahun Prof Dr H Bagir Manan, SH, MCL dan Negara Hukum yang Berkeadilan yang ditulis Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa mengatakan, Bagir Manan, mantan Ketua MA yang kini Ketua Dewan Pers, adalah salah seorang penggagas dan peletak dasar Cetak Biru MA yang diterbitkan pertama kali tahun 2003.
Menurut Harifin, cetak biru itu merupakan titik awal terbukanya perubahan di MA yang tidak saja melibatkan pihak-pihak internal pengadilan, tetapi juga membuka diri terhadap masukan dan dukungan oleh banyak pihak yang tidak mengikat. Hal penting dan bersejarah lain bagi peradilan di republik ini saat Bagir Manan menjabat Ketua MA 2001-2008 adalah dilakukannya restrukturisasi dan reorganisasi badan peradilan.
Pada peluncuran buku bersamaan dengan perayaan ulang tahun 70 itu hadir sejumlah tokoh nasional, antara lain mantan Wapres Jusuf Kalla, Adnan Buyung Nasution, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, serta Menakertrans Muhaimin Iskandar. Jusuf Kalla melihat, Bagir Manan tokoh yang lengkap dalam bidang hukum.